Kamis, 03 Juni 2010

Helvy Tiana Rosa - Ketika Mas Gagah Kembali

LELAKI TAK BERNAMA / KETIKA MAS GAGAH KEMBALI



Pagi itu seperti biasa, aku berlari-lari mengejar bus 52 jurusan Pulo Gadung-Depok.
Ya, sejak kami sekeluarga pindah dari Pasar Minggu ke Rawamangun, perjalananku menuju SMA Cendana jadi lebih lama. Bukan itu saja, aku yang terbiasa berjalan kaki ke sekolah kini harus berdesak-desakan dalam bus, menahan sabar saat macet, mendengarkan sumpah serapah kondektur bus pada beberapa mahasiswa yang selalu dikiranya karyawan, dan tiba di sekolah dengan perut mual serta kepala pening akibat supir yang ugal-ugalan dan suka mengerem mobilnya secara mendadak.
“Kamu nggak mau diantar saja, Gita?” tanya Mama.
Aku menggeleng. Sejak abangku: Mas Gagah meninggal karena kecelakaan, entah mengapa aku tak pernah mau naik mobil kami lagi. Hal yang akan semakin mengingatkanku pada masa-masa bersamanya...
Jadi begitulah, aku selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah enam aku sudah berada dalam bis dan semua jadi lebih menyenangkan. Udara yang segar, jalanan lengang, Supir dan kondektur yang belum stress, serta bangku-bangku yang belum seluruhnya terisi.
Asalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh! Salam sejahtera!”
Aku melihat ke depan. Para penumpang 52 lain juga melakukan hal yang sama tanpa menjawab salamnya. Pengamen atau mau minta sumbangan nih?
Kulihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak coklat dan celana panjang krim. Ia menyandang tas hitam. Tak ada gitar atau kotak amal di tangannya. So, mau ngapain nih orang?
Aku melengos.
“Maaf bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan bapak Ibu dan saudara-saudara. Tetapi ijinkanlah saya menunaikan kewajiban sebagai hamba yang telah diberikan setitik ilmu oleh Allah SWT, yang tentunya harus disampaikan setelah diamalkan.”
Lalu tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…, serta syahadat. Lalu dilanjutkannya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis. Kayak orang yang mau ceramah saja! Tetapi … aku tergetar. Suaranya merdu.
“Saudara-saudaraku, Bapak-bapak dan Ibu-Ibu…, sudahkah anda membaca koran pagi ini?” sapanya.
Tak ada yang menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah. Tak habis pikir…, mau ngapain sih orang ini? Kutatap wajah dan sosoknya. Hampir tak berbeda dengan para mahasiswa pada umumnya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak ikal dan berkacamata minus. Yaa lumayan manis deh….
“Mengapa banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa yang sebenarnya terjadi? Tidakkah kita malu, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita malah mendapat ranking tertinggi dalam korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”
Aku mulai terperangah. Orang-orang di dalam bus mulai mengatur duduk mereka lagi, mencari posisi yang lebih nyaman untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu! Apalagi yang mau dia katakan?
Lelaki itu terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus, termasuk aku larut mendengar omongannya. Seorang bapak yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku, kini duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi yang duduk tak jauh di hadapanku terlihat memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda berambut gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera mengurungkan niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!
Wah, lelaki ini membuat semua terkesima!
“Berapa banyak orang miskin kian miskin karena perilaku korupsi skala kecil maupun besar. Bermula dari diri kita, keluarga dan sekitar, mari kita berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih jujur, dan berahlak mulia. Jadi kesimpulannya, Islam itu indah, tetapi kita sebagai umat Islam, seringkali membuatnya tampak buruk. Kalau kita orang Islam, wajib malu dengan stigma korupsi yang melekat di negeri ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, dan bila ada kesalahan maka itu semata karena kekhilafan saya. Billahi fisabililhaq. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikum salaaaaaaammm!”
Kudengar hampir seluruh penumpang bus menjawab salamnya diiringi dengan tepukan tangan.
“Minggu! Minggu! Minggu!” teriak kondektur.
Aku bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah melompat lebih dulu dan segera hilang ditelan keramaian.
“Tadinya saya kira dia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak cerdas berbudi! Hebat dia!” seru seorang bapak yang sempat kudengar.
***

Jam 06.00. Aku baru saja membuka buku sosiologiku sambil menikmati semilir angin pagi ketika sebuah salam menyapa seluruh penumpang bus yang masih tampak terkantuk-kantuk….
Lelaki itu lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak hijau dan menyandang ransel.
“Maaf, saya mengganggu perjalanan Anda semua,” katanya tersenyum. “Sesungguhnya orang yang ‘laisa minal khoisirin’ atau bukan termasuk orang-orang yang merugi adalah mereka yang senantiasa nasehat-menasehati dalam keadaan apa pun.”
Kututup buku sosiologiku. Penasaran.
“Ibnu Umar pernah berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW, maka bertanyalah seorang pria Anshor: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bijaksana dan paling mulia?” Maka Nabi SAW menjawab: “Orang-orang yang paling banyak mengingat mati dan gigih berusaha untuk persiapan menghadapi mati, merekalah orang-orang yang bijaksana sehingga mereka itu nantinya pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan keutamaan akhirat,” demikian hadist riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri kita, sudahkah kita siap menghadapi kematian yang pasti datang? Dalam Al-Qur’an dikatakan kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan saudaraku, bisakah kita menjamin bahwa esok kelak kala matahari terbit kita masih hidup?”
Hening. Yang terdengar cuma deru mobil dan suara teriakan kondektur bis. Aku tergetar. Ah, mati. Mengapa lelaki ini bicara soal mati? Hal yang sudah lama tak lagi kupikirkan sejak Mas Gagah pergi....
Lelaki itu terus bicara. Suaranya yang keras bersaing dengan deru bis dan hingar bingar jalan raya. Tapi ia seolah tak peduli. Kini kutangkap ketulusan, juga semangat yang menyala-nyala dalam dirinya.
“Minggu! Minggu!”
Setelah berpamitan pada semua penumpang, seperti biasa ia turun. Sebelumnya kudengar suara seorang Ibu. “Saya kira anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok enggak ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengerti sambil memasukkan kembali selembar ribuan ke dalam tasnya. Beberapa kepala yang lain manggut-manggut.
Upss! Mestinya aku turun juga di Pasar Minggu. Yaaa, kelewatan deh! Habis, lelaki itu hari ini membuatku harus mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus setelah aku sampai di sekolah!

***

“Memangnya orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri teman sekelasku, di kantin sekolah.
“Ya ceramah!” kataku sewot. Dari tadi aku sudah ramai cerita....eee Tri malah telmi!
“Orang kan ceramah di masjid, di mushola. Masak di bus!? Terus penumpang dimintain duit berapa?” tanyanya sambil meminum teh botolku.
“Kan tadi udah aku ceritain, dia nggak pernah minta duiiit!” bibirku maju beberapa senti, dan tanganku merebut kembali teh botolku tepat sebelum Tri menghabiskannya.
“Jangan marah dong, Non. Kayaknya kamu kesengsem sama cowok tak bernama itu ya?” Tri cengar-cengir. “Memangnya dia keren? Seperti bintang film siapa? Nicholas Saputra? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”
Aku menarik napas panjang. Tri…Tri….
“Maaf Gita, maaf...aku nggak bermaksud mengingatkanmu pada almarhum...,”tukas Tri seperti mengerti pikiranku.
Hari itu, pulang sekolah, Tri mengajakku mampir ke rumahnya di Depok I. Sambil menyelesaikan paper Sosiologi, kami melanjutkan obrolan tentang “makhluk aneh dalam bis itu”. Tapi sepertinya Tri lebih tertarik membicarakan Bob, anak basket idola cewek-cewek Cendana. Huh, aku kembali gondok. Tiba-tiba aku begitu merindukan sahabatku Tika. Biasanya ia selalu setia mendengar cerita-ceritaku, namun kini ia pindah sekolah ke Amerika.
Akhirnya tak lama aku pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek. Aku bisa turun di Cikini dan dengan menyambung sekali kendaraan sudah bisa sampai di rumah.
Kereta melaju dan bergoyang-goyang. Aku menyelusuri gerbong demi gerbong, mencari tempat yang agak nyaman. Seperti biasa angkutan rakyat ini benar-benar berjubel. Semua jenis manusia dengan beragam profesi ada di sini. Mahasiswa, pedagang asongan, dosen, karyawan, karyawati, pengangguran, pencopet, dan tentu saja… para pengemis yang selalu ‘memeriahkan suasana’!
Bau keringat, bau sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah dan dahak yang dibuang sembarangan, tangisan bayi, kerincingan para pengamen….
Sampai di gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali! Si Mas Kotak-kotak (kemejanya selalu kotak-kotak) itu ada di situ! Dan seperti biasa, ia sedang ceramah!
Suaranya di ujung gerbong tak begitu terdengar dari tempatku berdiri kini. Aku maju mendekat. Kebetulan ada bangku kosong tak jauh di depan si kotak-kotak. Dan dengan cueknya aku duduk. Sungguh, aku ingin mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita harus punya jawaban pasti untuk pertanyaan tadi,” katanya.
“Hidup ya untuk makan, menikah dan bayarin sekolah anak-anak!” kata seorang bapak tua bergigi ompong, pedagang jambu yang duduk di dekat pintu, disambut gerrr yang lain dan gemuruh suara kereta.
Si kotak-kotak merah hati tersenyum.
“Hidup itu ya untuk berusaha…,” kataku tiba-tiba dengan suara keras.
“Ya, adik betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah bersabda: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah, mengabdi kepadaKu!”
Aku menunduk. Kena lagi gua!
***

Entah apa namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus berlalu dan hampir setiap hari aku bertemu dengan lelaki tak bernama yang selalu memakai kemeja kotak-kotak itu. Di 52 bahkan di bus lain, di dalam kereta… bahkan yang bikin aku heran bukan kepalang, aku pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri rumah-rumah triplek di sepanjang kali Ciliwung! Pernah juga di Tanah Abang, lalu di Pekan Raya Jakarta saat aku, Mama, dan Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ dia ceramah ini sambil menggelar buku-buku agama.
“Buku ini berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju lusuh bersandal jepit sambil memegang buku tentang sholat tersebut.
“Mengapa Bapak memilih buku itu?”
Si Bapak tersenyum malu. “Saya ingin menjaga sholat saya. Selama ini belum benar.”
“Ambillah, Pak. Semoga bermanfaat. Saya berikan untuk Bapak.”
Si Bapak terpana. Langsung mendekap buku tebal karangan Al-Ghazali itu dengan haru.
“Sekarang boleh saya meminta buku tentang warisan ini?” tanya seorang Ibu berpakaian bagus. Wow, silau juga aku memandang perhiasannya.
“Silakan Ibu letakkan uang infaqnya di kaleng ini. Seikhlas Ibu. Insya Allah untuk disalurkan pada orang yang berhak menerimanya,” seru si kotak-kotak.
Begitulah. Di mana ia berada di sana selalu banyak yang memperhatikannya. Wajar. Habis yang diangkat menjadi bahan pembicaraan selalu yang menarik, seru, aktual dan hebat. Belum lagi manuvernya.
Terus terang aku makin penasaran pada pribadinya. Siapa dia? Siapa orangtuanya? Kuliahkah, pengangguran atau sudah bekerja? Di mana rumahnya? Dan mengapa ia seakan sangat mirip dengan seseorang yang dekat denganku?
***

“Palestina masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka. Di negeri itu, semua yang menentang penjajahan disebut teroris, bahkan bocah-bocah yang membawa batu melempari tentara Israel. Dan dunia diam. Mengapa? Karena korbannya muslim? Jadi berapa pun yang tewas tak ada yang peduli? PBB cuma mengaku bersimpati. Amerika cuma jago menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah. Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah kita sempat untuk sekadar mendoakan mereka?”
Ramadhan 2005, menjelang berbuka puasa. Di dalam kereta api Jabotabek dari kampus menuju Cikini, kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia masih seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yang tak surut sedikit pun. Bahkan pada saat puasa begini ia membuatku ingin menangis.
“Ramadhan seperti apakah yang dilalui saudara-saudara kita di Palestina? Tahukah Anda, pada Ramadhan mulia ini kebiadaban dan kekejian terus digelar di sana? Apa yang terjadi melebihi tragedi Nazi. Para bocah kehilangan tangan dan kaki, para pemuda dan wanita juga dibantai dan kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”
“Darimana kamu tahu tentara Israel lebih kejam dari Nazi?” kejar seorang bapak—sepertinya dosen—dingin.
Si kotak-kotak mengeluarkan berbagai kliping surat kabar dan majalah, lengkap dengan foto-foto yang telah diperbesar. “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya dari mulai majalah Time sampai Al Mujtama. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya cuma satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yang masih tersisa di dada kita? Bahkan kita kalah reaktif dengan rakyat Amerika Serikat yang bila ada satu saja warga negaranya tewas di Irak atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar dan simpati dunia segera mengalir. Tapi ratusan ribu saudara kita dibantai kita bahkan tak mengetahuinya….”
Aku mengusap setitik airmata yang jatuh begitu tiba-tiba. Kulihat beberapa orang di sekitarku juga tampak terenyuh.
“Saya ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa lewat adik?”
“Tidak. Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam. Alhamdulillah, Allah menggerakkan hati Bapak.”
Kereta terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. Seperti hatiku, setiap kali mendengar kata-kata lelaki tak bernama itu.
Allah, saksikanlah! Aku tak akan pergi ke diskotik lagi, aku tak akan beli alat-alat rias lagi, baju-baju mewah lagi, nggak akaaaan…pokoke no more lah yang borju-borju!
“Oh ya, ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk berbuka puasa,” sekitar lima menit sebelum adzan lelaki itu membagi-bagikan dua bungkus permen pada para penghuni gerbong yang mulai resah mencari-cari makanan.
“Silakan, Dik,” ujarnya ramah padaku yang terbengong-bengong.
Ada sih orang kayak gini?!
***

Setelah aku masuk Fakultas Ilmu Budaya UI tahun 2003, beberapa kali kulihat Si Mas Kotak-kotak itu. Apa ia juga kuliah di sini? Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas satu dengan yang lain berjarak cukup jauh dan biasanya di tempuh dengan bis kuning, meski masih satu lingkungan. Dan mahasiswanya…, banyak sekali. Aku sendiri memasuki tingkat dua memutuskan untuk kos. Capek juga pulang balik naik kereta tiap hari. Malah 52 juga sekarang sudah tak beroperasi.
So, pertemuanku dengan si kotak-kotak kini tak sesering dulu….
Akhir semester lalu, aku masih ingat. Hari itu aku baru pulang ujian dan berniat mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat kos-ku untuk membeli nasi bungkus. Tiba-tiba kudengar suara seseorang. Suara yang keras, tegas, berwibawa dan enak didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku dan masuk ke dalam kantin. Di depan pintu aku terpaku.
Sekitar tiga puluh orang duduk tak teratur menghadap seseorang yang berdiri di sudut ruangan. Si Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua! Kecuali pelayan rumah makan yang juga sedang terbengong-bengong! Kutarik napas panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, nekat juga. Ya, cueklah! Namanya juga orang lapar!
“Namanya Dr. Alexis Carrel. Ia peraih nobel dalam bidang kedokteran, dan Direktur riset Rockfeller Foundation. Hasil penelitiannya membuktikan sholat bisa menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh kita. Sebagai dokter, ia melihat banyak pecandu narkoba yang gagal dalam pengobatan, namun saat dibiasakan mengerjakan sholat, justru ketergantungan mereka pada narkoba jadi hilang. Jadi sholat bagaikan tambang Radium yang menyalurkan sinar dan melahirkan kekuatan diri.”
“O ya? Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi decak kagum.
Aku masih terpaku di pintu.
“Eh, nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah saja tak pernah membiarkan makanan menunggu lho!” ujar si kotak-kotak memecahkan suasana yang sesaat hening.
“Eh iya, Bang...memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang yang tepat berada di depan si kotak-kotak dalam dialek Sumatera Utara.
”Tapi jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan, selain bersyukur, kita juga harus ingat saudara-saudara kita yang dhuafa di negeri ini...”
”Waaaah tak bisa makan aku nanti, Bang,” seru si logat Sumatera Utara tadi.
“Para tentangga terdekat kita...,” Si Kotak-kotak tersenyum. ”Jangan sampai kita makan, mereka tak makan….”
“Makin tak bisa makanlah, Bang...,” lelaki di depan si Kotak-kotak itu kebingungan sendiri. Cengengesan.
Si Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu akrab, “Kita juga harus makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai muslim yang kuat daripada yang lemah,” kata lelaki tak bernama itu bijak. Dengan tubuh yang sehat, kemungkinan menolong mereka lebih banyak bukan?”
Hening. Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di sini biasa senengnya godain kita-kita sambil main gitar, terus sekarang memasang mimik sedih?
“Mbak, nasi sama semur dagingnya!” teriakku dari depan pintu. Maklum, perut sudah melilit… ee si mbaknya asyik senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.
“Mbaaaaak!” teriakku. “Nasi sama semur daging!”
Kontan semua memandangku, termasuk si kotak-kotak.
Aku tergagap. Masuk pelan-pelan. Segera mengambil nasi bungkusku dan berlari. Salah sendiri masuk ke kandang macan, weeeeee!

***

“Apaan, Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dengan suara keras.
“Ssssssst, jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya. Mas yang kemarin makan di sini, yang pakai baju kotak-kotak ungu muda itu namanya siapa?”
“Yang ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”
Aku mengangguk cepat.
“Wah, saya juga ndak tahu tuh, Mbak. Dia jarang kok makan di sini? Memangnya kenapa sih? Situ naksir, ya?” berondongnya.
Aku menghela napas dan segera berlalu.
“Sama dong, Mbak! Kita juga naksir!” teriak si pelayan itu. “Saingan ni yeee!”
Aku cemberut. Ember tuh orang! Siapa yang naksir? Emangnya kita cewek apaan. Sewot betul aku! Aku kan cuma penasaran! Bayangkan! Sekarang sudah 2006! Sudah tiga tahun aku melihat si kotak-kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja aku tidak tahu! Wajar dong penasaran!
***

Sekian lama aku tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan aku juga sibuk di kampus, apalagi teman-teman di Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI) FSUI benar-benar melibatkanku dalam banyak kegiatan. Aku sendiri baru masuk ke UKM ini setahun lalu. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang yang lebih baik aja… sekaligus ingin sangat mengenal Islam dan umatnya di bumi ini seperti… Mas Gagah dan...lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak langsung, setelah Mas Gagah tiada, ghirah-ku untuk belajar Islam memang kembali kudapat dari dia. Orang yang tak kukenal sama sekali!
“Gita, jangan lupa lho…, total uang yang kuberikan padamu dua juta rupiah. Lalu dua puluh kardus mie instan, lima kardus baju bekas dan tiga karung beras!” suara Tutut mengagetkanku.
“Iya deh…, semuanya aman sama om Eki! Seruku sekenanya. ”Aku kan tinggal mengkoordinir di sana aja.”
“Om…om…, akhi dong!” kata Tutut sambil tersenyum dan berlari meninggalkanku.
Akhi. Akhi kotak-kotak itu sekarang ada di mana ya? Semoga Allah selalu memberi kekuatan padanya. Aku jadi ingat Tutut pernah cerita ada seorang teman kakaknya yang sejak SMP dan SMA menjuarai berbagai lomba pidato sampai lomba debat tingkat nasional. Sekarang dia sering memberikan ceramah di mana-mana bahkan tanpa dibayar dan dipinta.
“Tempatnya juga nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti-panti, nggak jelas deh. Tapi orangnya tulus dan rendah hati sekali.”
“Namanya, Tut? Terus kuliahnya di mana? Dia suka pakai baju kotak-kotak ya?”
Tutut mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. “Ukhti muslimah, berhati-hatilah dengan hatimu…,” katanya waktu itu sambil mencubit pipiku dan menghentikan informasi.
Yaaa, penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih aku terlalu ingin tahu dengan sosok misterius itu? Sosok yang mengingatkanku pada Mas Gagah, yang meninggalkanku beberapa tahun lalu....
“Gita, ayo berangkat! Panggilin akhwat yang lain!” teriak Eki dan beberapa ikhwan membuyarkan lamunanku.
Yap. Aku mengangguk dan segera berkemas.
Tak lama aku dan anak-anak FORMASI sudah menuju daerah Tanah Tinggi. Ya, kami akan memberikan bantuan buat korban kebakaran besar di sana!
Setelah sampai, kami semua dengan mengenakan jaket kuning segera mengeluarkan barang bantuan dan disambut oleh beberapa pemuka warga dengan haru. Tangisku hampir pecah melihat bayi dan balita tidur beralaskan tikar di atas reruntuhan rumah mereka yang terbakar.
“Warga yang lain kemana, Pak?” tanya Eki heran.
Aku melihat sekeliling. Kok sepi ya….
“Iya nih, lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak anterin ke sana,” kata seorang bapak ramah.
Kami semua berjalan menuju sebuah bedeng triplek yang terkesan dibangun asal jadi.
“Ayo, masuk, Nak!”
Di dalam bedeng sekitar seratus orang lebih sedang mendengarkan ceramah. Aku duduk perlahan, menatap ke depan dengan pandangan tak percaya.
“Jadi musibah bisa jadi adalah ujian dari Allah atas keimanan kita. Di dalam hadis dikatakan bahwa bila ada seseorang yang kena musibah, walau hanya tertusuk oleh duri, niscaya dosanya akan dikurangi oleh Allah.”
Lelaki dengan kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya teduh. Ya Allah, kenapa orang ini senantiasa bersegera dalam kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih dulu? Kenapa ia begitu mirip? Bukan wajah...mungkin perangai...atau....
“Rasulullah SAW berkata bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran. Karena itu meski kita miskin harta, hendaknya tetap kaya iman. Jangan sampai sudah kita miskin di dunia, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak melarat di akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.”
Kulihat para warga serius mendengar. Sesekali mereka mengangguk-angguk.
“Demikian dulu dari saya. Saya mohon maaf bila ada kata yang salah. Sesungguhnya kebenaran itu dari dan milik Allah semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan hati dan persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”
Usai mengucap doa dan salam lelaki itu bangkit.
“Tunggu! Siapakah nama anak? Saya juga ingin mendoakan anak…,” kata seorang Ibu tua tiba-tiba.
Aku tersentak. Ya, siapakah namamu?
Lelaki itu tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan siapa-siapa dan saya pun akan mendoakan semua yang ada di sini. Assalamu’alaikum.”
Pemuda itu pun bergegas pergi setelah bersalaman dengan beberapa pemuka warga.
“Baiklah, sekarang kita kedatangan adik-adik dari Forum Amal studi Islam FSUI,” kata seorang bapak berpeci. Tepuk tangan kembali bergema mengiringi kehadiran Eki dan para ikhwan di hadapan warga.
Tetapi mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia menjelma menjadi titik kecil dan menghilang di kejauhan.
Abdullah? Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yang muncul kembali?
***

Senja ini, aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa dan tentu saja mereka tak kalah kangen sama aku yang sudah beberapa tahun ini menjadi anak tunggal ini.
Di stasiun UI aku bersungut-sungut. Bukan apa-apa. Kereta api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul juga. Eeeh, setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak dapat beroperasi karena listrik mati! Lirih, geregetan. Kontan aja aku putar arah. Jalan kaki ke Kober lalu nyambung naik miniarta ke Pasar Minggu dulu.
Baru saja aku menginjakkan kaki ke atas miniarta, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat di paling depan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia. Penuh semua!
“Silakan, Dik!” suara Si Kotak-kotak!
”Makasih, Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab banget! Sepintas kulihat dia mengerutkan kening.
O...o!
Aku menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia tampak tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.
”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian seperti hari-hari kemarin kudengar dan kucermati kata-katanya.
”Fii ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk. Anda merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik bentuk Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih ganteng dan cantik, terutama di hadapanNya. Dan sebaik baik manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Jadi sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”
Orang-orang di bis memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.
”Mari sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang sesuatu tidak hanya dari sudut pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang lain dan Tuhan.”
“Sudut pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang Bapak.
“ Apa yang tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan dicatat oleh nurani kita, insya Allah,” katanya sambil tersenyum.
Tanpa terasa miniarta yang kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Aku baru saja hendak turun ketika kulihat...ya Allah... kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak Ada yang mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga... samurai! Tubuhku langsung lemas.
Aku dan para penumpang lain urung turun. Habis, bisa-bisa kena batu nyasar!
Jantungku berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal sekali! Mereka saling lempar dan saling baku hantam!
PRANNNGGG! PRANNNGGG!
Kaca jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!
”Serbuuuuuuuuuu! E... eh..., mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”
Ya Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas miniarta ini. Aku bingung harus bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.
”Hei! Gila! Kenapa naik mobil ini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.
”Sa... ya bisa... mati... kalau... tu... run...,” kata pelajar itu lemah.
Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.
”Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh!
”Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik.
”Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak si supir. Keringatnya mengucur deras.
DUG! DUG!
PRANGGGG! PRRANNGG!
Segerombolan pelajar naik ke dalam miniarta kami membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak tengil ini!
”Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.
Seluruh penumpang bergidik.
”Adik cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.
”Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”
Lelaki dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.
”Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”
“Hajarrrr! Tusuk!”
Para pelajar itu maju dan... aku serasa tak berpijak di bumi... mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris!
“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii...?”
CRESH....
“Aaaaa!” aku terkejut.
Lelaki berbaju kotak-kotak..., Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya. “A...dikku..., bagai...mana...kali...an bisa... berbuat... begi...ni,” gumamnya pedih.
Aku bangkit dari tempat duduk dan berteriak histeris. ”Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.
Para remaja itu berhamburan keluar miniarta setelah mereka merampas tas Mas Abdullah.
”To...long..., tolong mereka...,” kataku memelas pada para penumpang.
”Tunggu... polisi!” teriak seseorang ketakutan.
”Polisi belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku.
“Cepat keluarkan mereka!”
Kuhirup napas dalam-dalam. Setelah sesaat menguatkan diri, aku turun mencari bantuan. Jalanan mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan pecahan kaca di sekitar. Dari jauh kudengar sirine polisi.
Kuhentikan dua buah taksi.
Ayo, Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yang membopong.
”Saya nggak megang uang, Neng!”
Kukeluarkan dompetku. ”Saya yang bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam taksi. Taksi melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini kuanggap saudaraku itu berdzikir satu-satu.
”Tahan ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!”
Sesampainya di RS, segera kedua korban dimasukkan ke UGD.
Aku resah menunggu, juga bingung. Ketika petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut Abdullah.
”Identitasnya ada, Mbak?”
”Saya juga nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!” tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah dia belum sadar....
”Adik yang tadi dalam bis?”
Aku terperanjat. Hah? Polisi....
Aku mengangguk. “Ya, saya Gita.”
”Ikut ke kantor kami untuk memberi keterangan.”
***

Dua hari aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Di antaranya untuk menjadi saksi siapa pelaku penusukan. Demi kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang berwajah bengis itu pun sudah diamankan.
Dan hari ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, aku terperanjat.
”Sudah meninggal kemarin, Mbak....”
”Apa?”
”Pelajar yang kena tusuk sudah meninggal.”
”Saya nanya yang satu lagi. Namanya Abdullah. Masuknya bareng sama pelajar itu!”
Sang suster mengangguk-angguk. ”Ooo, baru setengah jam yang lalu dijemput keluarganya. Lukanya tidak parah. Ia juga berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak yang sudah menolongnya.”
Aku mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi pipiku. ”Terimakasih suster,” ujarku pelan. “Terimakasih ia tak pergi secepat Mas Gagah....”
***

Begitulah ceritanya. Hari, minggu dan bulan terus berganti. 2006 berlalu dan 2007 hadir. Aku tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Sesekali rasa kehilangan terasa juga dalam hati.
Aku sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut girang sampai sujud syukur segala melihat aku bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat, kerudung terawang, atau celana legging. Eki bilang aku sudah akhwat asli! Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh berjilbab bukan karena dia, melainkan karena Allah semata.
Aku sibuk dengan skripsiku. Tahun ini aku bertekad untuk menyelesaikan kuliahku lebih cepat. Namun setiap hari, saat pulang dan pergi dengan bus atau kereta api, entah mengapa aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosok Mas Kotak-kotak itu, seperti dulu. Tapi ia tak ada. Betul-betul tak ada.
Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan aku yang tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan keduaku yang besar, setelah kepergian Mas Gagah.

***
Setahun setelah lulus kuliah aku masih mencari pekerjaan yang lebih baik.
“Kenapa sih tidak terus di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.
Waktu itu aku hanya mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu....”
Untunglah Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya selalu berusaha mandiri. “Kamu akan jadi perempuan yang kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Dan hari ini aku cukup deg-degan.
Sebuah perusahaan elektronik membutuhkan tenaga marketing yang menguasai bahasa Inggris sekaligus bahasa Mandarin. Aku mencoba melamar. Namanya juga usaha. Siapa tahu diterima meski kurang pengalaman, kan?
”Mbak Gita?”
Aku mengangguk.
“Mbak diminta langsung menghadap Direktur kami!”
Aku berdiri dan tersenyum.
”Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk ke ruangan Direktur.
Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab salamku.
Aku terperangah!
Dia juga!
Kubaca nama yang terpampang besar di mejanya: Ir. Yudhistira Arifin, Msc. Ph.D-Direktur.
Dua orang perempuan masuk, mengantar map-map yang harus ditandatangai.
Aku terpaku. Menunduk diam.
Lelaki itu menandatangani beberapa kertas. ”Jadi Anda bisa bekerja di sini, serunya ramah. ”Selamat!”
“Terimakasih, Pak,” jawabku.
“ Oh ya, di mana saya pernah melihat Anda ya?” tanyanya tiba-tiba.
Suaraku tercekat di kerongkongan. ” Dalam bus..., akhi eh Pak….”
Dia mengangguk. Tersenyum, berdiri meraih jas di bangkunya. ”Mungkin di UI. Saya lulus dari sana tahun 2003,” katanya simpatik.
Aku mengangguk.
Tiba-tiba dia menatapku agak lama. “Tidak..., Anda...Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya ke RS...bertahun-tahun lalu....”
Aku tercengang.
“Gita....subhanallah....”
Aku mengangguk, “Saya, Pak.”
“Saya belum berterimakasih. Keluar dari rumah sakit itu, saya diberitahu nama orang yang menolong saya. Gita. Tak mungkin saya lupa...,”katanya lagi.
Hening.
”Pak, ada undangan mengisi ceramah di BMI. Lalu ada juga dari Departemen Keuangan, beberapa hotel berbintang dan dari universitas di Australia,” sekretaris yang tadi memanggilku kembali masuk sambil membawa map.
BMI? Departemen Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Australia? Hebat sekali! Batinku.
“Terimakasih,” katanya ringan. “Oh ya, Saudari Gita, saya harus mengucapkan terimakasih atas pertolongan Anda. Kalau saja Anda tidak membawa saya ke rumah sakit waktu itu....
“Sama-sama, Pak....”
“Panggil saya Yudi saja. Anda boleh mulai bekerja besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini....”
Alhamdulillah. Aku mengangguk.
Sorenya, setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, seperti biasa aku naik bus arah Rawamangun.
Aku baru saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan mas Abdul eh... Yudi..., ketika satu sosok yang kukenal meloncat ke dalam bis sambil tersenyum.
”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh....”
Aku melongo. Nyaris tak percaya. Dia lagi!
”Nak Yudi! Seru seorang bapak. ”Senang bisa mendengar Anda lagi!”
”Ya, perjalanan panjang, keringat dan kemacetan seakan tak berarti bersama Dik Yudi!” seru penumpang lain.
Pak Supir tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.
Aku ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia berbicara dan orang-orang mendengarkan.
”Apakah hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yang kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar?”
Semua mengangguk tanpa sadar. Aku juga.
Dan seperti tahun-tahun lalu pula... kata-katanya begitu menyentuh. Begitu berpengaruh.
”Ajari saya... Islam. Saya mau... mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang duduk tepat di sampingku, saat Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.
Aku haru.
Mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu berkaca-kaca. Selalu, seperti saat pertama aku menatapnya. Angin semilir. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum, seperti berjanji mengukir sebuah kebersamaan....
Kini kusadari sejatinya “Mas Gagah” tak pernah pergi. Ia akan selalu hadir dalam sosok-sosok lain yang punya kepedulian untuk terus menebar cinta pada semesta.
Angin semilir lagi, membelai wajahku yang terus tersenyum. Selamat datang, Mas Yudi!

1 komentar:

  1. waktu SMA sangat suka dengan karya2 helvy Tiana Rosa...senang membaca tulisannya

    BalasHapus