Kamis, 03 Juni 2010

Helvy Tiana Rosa - PERI BIRU

PERI BIRU


Aku tak tahu mengapa ibu menamakanku Peri. Apakah karena ibu memerlukan keajaiban seorang peri dalam hidupnya? Tapi aku yang datang kemudian mungkin hanya bias dari warna biru hidup ibu. Setidaknya itu ada dalam namaku: Peri Biru.
Tapi mengapa? Mengapa ibu memerlukan seorang peri biru?
Kalau aku bertanya padanya, ibu hanya tercenung. Lalu kulihat matanya mulai memerah dan kemudian kristal yang tak bening itu jatuh menderas, tanpa terbendung lagi. Setidaknya tiga hari tiga malam ibu tak akan sudi bicara apapun.
Mungkinkah luka nganga itu tentang Ayah?
“Kau tak punya Ayah, Peri. Tak akan pernah punya,” kata Mbah suatu hari, ketika aku hampir menyelesaikan SD-ku.
“Tapi itu tak mungkin, Mbah. Semua orang punya ayah.”
Mbah mencibir. “Ayahmu tak pernah ada. Dia sudah mati ketika dia hidup.”
Aku hanya bisa mendengar desas desus orang sekampung. Mereka bilang, saat ditinggal suaminya bekerja di Malaysia, ibu diperkosa beberapa pemuda tak dikenal sepulang dari ladang. Ibu pun hamil dan para pemuda itu tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Bagaimana dengan suami ibuku? Ia terpukul dan memilih menetap di Malaysia. Ia tinggalkan ibu, Mbah dan anak sulungnya Sri yang cacat mental: kakak tiriku. Sesudah itu Mbah yang membiayai hidup kami dengan berjualan kue di pasar, sementara jiwa ibu semakin labil.
Ah, aku Peri Biru. Dan aku memang tak pernah menangis. Juga saat melalui semua lorong duka itu dan mungkin berbagai lorong nanah yang menanti di masa depan. Sebagai Peri aku bahkan tak bisa mengubah semua luka. Aku hanya menuliskannya.
Ketika kecil, aku sering mendengar dan membaca cerita tentang Peri. Tapi mungkin hanya aku Peri yang suka membaca dan menulis. Terutama dengan menulis, aku melukis semua penderitaan yang menghinggapi hidup ini.
Hampir setiap malam aku duduk di depan jendela kayu kamarku. Menatap bulan yang kadang cerlang dan kadang redup tersaput awan. Dengan penerangan seadanya aku pun menuliskan semua resah gelisah yang mendenyuti nuraniku. Sepuluh buku tipis yang kubeli di warung tetangga telah penuh dengan coretanku. Suatu saat nanti aku akan bertemu Taufiq Ismail dan Asma Nadia. Ah, apa aku perlu memakai nama pena seperti Asma Nadia? Kurasa nama Peri Biru sudah cukup bagus!
“Bekerjalah Peri,” Mbah selalu memecah lamunanku. “Bekerjalah apa saja. Kaulah tumpuan hidup kami kelak. Rasanya Mbah tak mampu lagi membiayai kalian….”
Aku masih ingin sekolah. Sebentar lagi SMP-ku selesai. Aku ingin kenal Taufiq Ismail dan Asma Nadia. Aku ingin seperti mereka. Dan itu artinya aku harus pintar. Membaca membaca. Menulis menulis. Sekolah! Hanya kujeritkan itu dalam hati.
“Peri tak pernah sekolah. Ia ada untuk menolong orang,” kata Mbah. “Berhentilah bermimpi, Peri….”
Mengapa berhenti bermimpi? Bukankah aku lahir dari mimpi meski mimpi terburuk ibuku sendiri? Tak bisakah aku memiliki mimpi-mimpiku sendiri meski tak seindah mimpi orang lain?
Seperti gelombang yang tak reda menerjang, sekonyong-konyong Mbah sakit dan aku benar-benar putus sekolah!
Di rumah Mbah hanya terbaring. Ibu selalu termenung di meja makan. Dan di atas tempat tidur kayu tak berkasur, Mbak Sri menatapku dengan pandangan yang tak pernah kumengerti. Kadang susah payah ia bicara padaku sambil menggerak-gerakkan kepalanya. Aku tetap saja tak mengerti, namun aku tahu satu hal: aku menyayanginya. Akulah yang selalu membersihkan air liur yang tak berhenti menetes dari mulutnya. Aku yang selalu membopong badan mungil itu ke sungai di belakang rumah dan membersihkan tubuhnya.
“Aku akan bekerja, Mbak…,” kataku pada Mbak Sri.
Kepalanya bergerak-gerak. Matanya memancarkan keriangan.
“Kalau sudah bekerja, aku akan bisa bawa Mbak ke dokter.”
Ia mengangguk berulangkali. Air liurnya kembali menetes. Tiba-tiba tangannya diangkat dan digerak-gerakkannya, seperti orang yang memegang pena dan ingin menulis sesuatu.
“Peri Biru akan terus menulis, Mbak! Menulis akan menjadi keajaiban Peri Biru!” senyumku.
Ia manggut-manggut.
“Aku akan membuat buku dan membangun WC di rumah kita! Jadi Mbak dan mbak tak perlu tertatih-tatih ke sungai untuk buang air,” kataku. Kugenggam tangannya. “Aku akan menjadi peri yang punya dua sayap dan bisa terbang seperti dalam dongeng!”
Mata Mbak Sri kian bersinar, ia tergelak. Air liurnya semakin bercucuran. Kulap dengan segenap kasih.
Lalu kesempatan untuk menunjukkan kasih yang lebih besar pada keluargaku datang, saat ada tawaran bekerja di rumah Pak Waduk, salah satu orang terkaya di desa kami. Istri Pak Waduk konon sudah empat, namun kerlingan genitnya selalu mengikuti kemana wajah ini kupalingkan. Sedang Bu Waduk 2, nyonya majikanku adalah seorang yang terus menerus bicara dengan mengeluarkan nada-nada tinggi plus tiga kata pasti: ah, ih, uh. Apalagi padaku. Bibirnya selalu maju beberapa sentimeter dari yang biasa ditampakkan semua perempuan di desa kami.
Anak Pak Waduk dari Bu Waduk 2 ada empat orang. Semua sudah remaja dan sangat sibuk. Tak satupun dari keempatnya yang ingat namaku. Mereka semua memanggilku: Perih! Aku bekerja dari mulai matahari tak tampak hingga matahari kembali tak ada.
Tapi aku bukan Perih. Aku Peri. Di tengah-tengah pekerjaan, aku mencoba untuk tetap menggenggam pena. Bu Waduk 2 pernah tertawa sinis melihat saat menyapu dan mengepel pun pena tetap ada di kantong bajuku.
“Perih, kamu ini lebih kantoran ya dari orang kantoran! Mana ada orang nyapu ngepel bawa pulpen! Dasar sableng!” serunya.
Aku tak menggubris, hanya memelihara senyuman seorang peri. Aku juga selalu menyempatkan diri membeli buku tipis di warung yang dulu. Pada buku kedua belas, aku mulai berpikir untuk menovelkan diri, kehidupan dan mimpi-mimpi yang tak pernah berhenti mengejarku itu!
“Saya ingin nulis buku, Bu,” ujarku pelan pada Bu Waduk 2 saat ia kembali menegur melihat pena yang selalu menyembul dari kantong bajuku.
“Ha ha ha…, apa aku tak salah dengar? Seumur hidup aku tak pernah mendengar seorang pembantu menulis buku! Apalagi sekolah saja tak tamat. Jangan bermimpi, Perih! Nanti kamu bisa tambah perih!” katanya seraya cekikikan.
Aku tak peduli. Aku terus menulis, meski harus memakai waktu tidurku. Kadang kuterjemahkan airmata di atas kertas. Kutafsirkan kegalauan, awan, dan cicak di sudut gudang yang merangkap kamarku. Aku merasa menulis memanglah kegiatan peri karena selalu menerbitkan keajaiban dalam diriku. Tak peduli siapa aku sebenarnya…, dan darimana aku berasal. Menulis membuatku tak lagi sesak bernapas saat mengingat Ibu, Mbah dan Mbak Sri! Dan entah kapan, aku yakin, menulis akan membuatku ada. Mungkin menulis akan membuatku memiliki sayapku sendiri!
Senja itu tak seorang pun di rumah. Aku sudah selesai membereskan semua pekerjaanku. Tinggal menyediakan makan malam. Tiba-tiba muncul Pak Waduk di dekatku. Aku menangkap kelebat mata liarnya, seperti pria-pria jahat di sinetron yang setia ditonton Bu Waduk 2. Sebelum aku sempat berkata apapun, ia menyergapku! Aku meronta sekuat tenaga, namun tak berdaya. Aku terus meronta, mencakar, menggigit! Ia terkekeh kekeh!
Sekonyong-konyong rambutku dijenggut dari belakang! Bu Waduk 2 membelalakkan matanya padaku! Tangan Pak Waduk yang sebelumnya mencengkeramku kuat, lepas begitu saja berganti tangan Bu Waduk 2 yang memukulku histeris! Aku melenguh seperti sapi yang sekarat sambil mengiba, “Bukan…bukan saya…Bu…,bukan….”
“Diam kamu!” sebuah tamparan keras mendarat di wajahku. Aku terhuyung dan terjatuh. Amis darah merebak. Bibirku berdarah. Wajahku lebam.
Sejak saat itu aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Sesuatu dalam diriku meluap setiap kali mengingat perlakukan suami istri itu padaku.
Namun saat di rumah, Ibu dan Mbah selalu melemparkan pertanyaan yang sama: “Kapan kamu bekerja lagi, Peri?”
Aku cuma terdiam. Aku mau sekolah. Aku ingin menulis! Aku ingin meninggalkan jejakku yang nyata. Jejak yang wangi dan tak dipandang sebelah mata…,tapi kapan?
Aku terus menulis. Aku akan menulis agar aku memiliki sayap kelak, seperti para peri dalam dongeng….
“Anaknya Pak Tarjo kerja jadi pembantu di luar negeri uangnya banyak sekali,” kata Mbah, mengusir lamunanku lagi. “Mbok ya kamu juga mencoba seperti dia….”
Bekerja di luar negeri? Tanpa keahlian yang jelas…menjadi pembantu di negeri asing?
Anak Pak Tarjo mungkin beruntung karena tak punya masalah bekerja di luar negeri. Tapi temanku dan teman-teman dari kenalanku banyak yang mengalami hal mengenaskan di negeri asing. Si Tati terancam hukuman mati karena dituduh membunuh majikannya. Temannya temanku yang bernama Siti pulang dalam keadaan hamil karena diperkosa majikannya. Jumi lain lagi. Dia lumpuh tak berdaya dan nyaris buta karena dianiaya nyonya majikannya di luar negeri itu! Sekujur tubuhnya pun melepuh disiram air panas dan diseterika! Sesuatu yang tak sanggup kubayangkan! Sementara Suci sudah tak lagi suci karena ditipu oleh agen kerjanya dan dipaksa jadi pelacur di negeri jiran! Ya Allah, aku ingin menangis dengan semua kepedihan bertubi itu. Apa orang seperti kami tak lagi dianggap manusia, di mana pun kami berada?
“Aku serius mengajakmu,” ujar Rika. “Banyak teman kita di sana. Mereka baik-baik saja. Malah orang sana lebih menyukai domestic helper dari Indonesia dibandingkan negeri lain.”
“Hong Kong?”
Rika mengangguk.
Aku tergelak. Jadi ada kemungkinan aku bertemu Jacky Chen atau Jet Li? Mungkin aku pun bisa belajar kungfu sambil terus menulis di sana. Aku geli sendiri membayangkan orang pertama yang akan kuhadang dengan berbagai jurus sakti--sepulang dari Hongkong, adalah Pak dan Bu Waduk2!
Ah kutepis seketika pikiran tersebut. Apa peri pernah mendendam?
Diiringi tatap sendu Ibu, Mbah dan tangis Mbak Sri, akhirnya kuputuskan pergi. Sebuah tas hitam kecil berisi dua puluh lima buku tipis yang penuh dengan coretan, tak lupa kubawa. Mungkin di penampungan nanti aku akan memerlukan lebih banyak buku tulis lagi, untuk mencatat semua angan dan kenanganku.
Ya, entah di negeri mana, entah sampai kapan, aku harus terus berjuang untuk menumbuhkan sayap, menulis dan menghidupkan dongengku sendiri….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar