Kamis, 03 Juni 2010

Helvy Tiana Rosa - RAPSODI SEPTEMBER

RAPSODI SEPTEMBER


“Yihaa! Assalamu’alaikum, kakak-kakakku yang cuma dua mata wayang!”
Aku dan Rani serempak menoleh. Eron! Tapi…lho? Di sebelahnya seorang dara!
“Kak Ocha, Ka Rani, kenalin, ini Mia, teman dekat Eron di IKJ. Pulang kuliah hari ini cepat, jadi Eron ajak mampir.”
Hampir berbarengan, aku dan Rani tersenyum pada teman si Eron itu. Mia pun menyalami kami, diikuti mimik si Eron yang pringas-pringis.
“Tahun pertama juga di IKJ?” tanyaku
“Ya, gue ambil jurusan teater,” kata Mia cuek. “Kalau lo?”
Aku dan Rani lirik-lirikan. Ya ampun, pakaian si Mia ini cuek banget! Ngejreng, dengan kalung-kalung dan gelang berjuntai, terus pakai sepatu yang kaya orang mau naik gunung! Tas ranselnya asli bleketek. Dandanannya, oala! Melebihi lady rocker gitu, lho.
“Eh, Mia, ke dalam, yuk! Gue kenalin sama Mami!” seru Eron tiba-tiba.
“Oke, gue tinggal dulu, ya, coy!” Mia melambaikan tangan.
Kami berdua bengong. Asli!
***

Dulu pertama kali si Eron punya teman dekat cewek, waktu dia kelas dua SMA. Anak itu bernama Tini. Wah, orangnya memang cantik dan sangat lembut, sopan lagi! Mami dan Papi ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’ deh sama Tini. Juga aku dan Rani. Tetapi masalahnya, biar bagaimanapun, tentu aku dan Rani yang sudah berjilbab, perlu memberi pengertian kepada Eron bagaimana pergaulan muda mudi dalam Islam.
“Ron, kamu masih kecil aja, sok, punya teman dekat cewek. Nggak usah deh, pacar-pacaran. Entar aja langsung nikah. Itu lebih menjaga kehormatan!”
Aku memelototi Rani. Tuh anak main tebak langsung begitu! Si Eron kan nggak tipe digituin!
“Gini ya, Ron. Tini itu baik. Kakak juga sayang, tetapi tugas utama kamu sekarang adalah belajar. Bukan meluangkan sebagian waktu belajar untuk selalu bersama dia. Nah, kamu percaya kan sama Al-Qur’an. Di dalamnya, juga dalam hadis Nabi SAW, telah diatur bagaimana caranya kita bergaul, apalagi dengan yang bukan mahram,” ujarku sabar.
Eron memajukan bibirnya beberapa senti. “Eron nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma belajar bareng, ke toko buku bareng. Cuma itu!”
Susah payah aku dan Rani mencoba memberi penjelasan. Setelah itu, besoknya, kami memberinya sebuah buku berkaitan masalah tersebut. Eh, dia tetap cuek! Aku dan Rani kalang kabut. Mami dan Papi cuma mesem-mesem. Bayangin, menurut beliau-beliau ya, wajar-wajar saja Eron punya teman dekat.
Ya, tetapi namanya orang usaha. Aku dan Rani akhirnya justru mencoba untuk lebih dekat dengan Tini. Kalau dia datang ke rumah, kami ajak masak bareng di hari Minggu. Atau jalan-jalan, beli buku dan mendengarkan ceramah di Wali Songo.
Kalau Eron lagi naik gunung, si Tini kami ajak menginap di rumah. Cerita-cerita (padahal sih aku dan Rani mencoba taushiyah). Dan alhamdulillah kami bertiga menikmati itu. Sering juga Tini minta diajarkan beberapa mata pelajaran yang sulit, dan dengan senang hati kami mengajarkannya. Lambat laun Tini benar-benar jadi dekat sekali dengan aku dan Rani. Janji-janji mau nonton konser musik bareng si Eron terpaksa batal karena sebelumnya Tini sudah berjanji lebih dulu untuk pergi ngaji bareng-bareng kami. Alhamdulillah.
Pernah Eron protes. Dan … Tini membela kami!
“Kamu harusnya bersyukur punya kakak seperti Kak Ocha dan Kak Rani. Ya udah, makanya lain kali ikutan ngaji!”
Lagi-lagi alhamdulillah!
Dan… tibalah hari itu. Aku dan Rani bersiap-siap untuk pergi ke Cisarua. Ada sanlat. Saat itu aku diundang mengisi ceramah, sedang Rani adalah panitia dari kegiatan Ramadhan tersebut. Baru kami mau berangkat, datang Tini. Seketika itu juga di minta ikut. Akhirnya kami bertiga berangkat bareng setelah sebelumnya ke rumah Tini untuk pamit. Lucu. Waktu itu, kata Mami, si Eron kelimpungan karena malamnya dia janjian tarawih bareng Tini di Masjid Meranti. Ditunggu-tunggu Tini tak datang!
Belum habis Ramadhan, ketika Tini ulang tahun, aku menghadiahinya mukena biru muda yang sangat indah. Rani tak ketinggalan membelikannya beberapa buku keislaman plus sebuah agenda Muslimah. Eh, Eron pada akhirnya berhasil juga mengajak Tini makan berdua di restoran!
Namun ternyata itulah terakhir kali Eron jalan berdua Tini! Pas lebaran, ketika Tini datang silaturahmi ke rumah, ia sudah mengenakan jilbab.
“Eh, Tin, gue sampai pangling! Cantik juga kamu pakai jilbab gitu. Lebih keren dari kakak gue!” sapa Eron riang.
Tini cuma menunduk. Diam. Tersenyum.
“Tin, pakai jilbabnya hari ini aja atau seterusnya?” tanyaku lembut.
“Forever, insya Allah, Kak! sahutnya mantap.
Dan sejak itu, Tini mulai jarang ke rumah. Kalau pun datang, selalu yang dicari aku dan Rani atau Mami. Bukan Eron. Mulanya Eron sedih. Uring-uringan. Suka marah-marah, dan naik gunung melulu.
“Gara-gara kakak berdua sih, Tini jadi pakai jilbab deh!” katanya dengan nada sebal.
Kuacak-acak rambutnya yang hitam. “Kok marah? Memang kehendak Allah, kan? Subhanallah, Tini dipilih untuk mendapatkan hidayah-Nya. “Nggak sembarangan orang lho, yang diberi petunjuk oleh Allah.”
“Biarin Tini pakai jilbab, Eron masih senang sama dia. Eron nggak mau putusin!” katanya.
Tetapi, tekad Eron tinggal tekad, Tini makin rajin ngaji, makin mudah melupakan Eron. Terakhir, ketika Eron ultah, Tini memberikannya baju koko dan peci, dengan satu tulisan:
“Ron, carilah jalan-Nya, ya semoga Allah besertamu. Jadi ikhwan dong!”
Wassalam, Tini.
Seminggu Eron mendiamkan orang rumah. Susah juga menasehati dia. Aku dan Rani terus mendekatinya. Alhamdulillah, akhirnya tuh anak ‘sembuh’ juga. Cuma lantas rambutnya mulai digondrongin! Apa maksudnya coba?
Setengah tahun ditinggal Tini….
“Namanya Opie. Pokoknya orangnya oke benget deh, Kak Ocha!”
“Ron, kamu ngapain lagi sih? Kalau sekedar teman, ya, nggak apa. Kalau teman dekat, apalagi pacar, hati-hati!” tukasku.
“Ini teman dekat banget! Eh, Eron tahu batasan kok, Kak! Kami toh, cuma saling sayang, saling berbagi, belajar bareng….”
“Iya, Cha, biar sajalah. Adikmu sudah besar. Yang penting nanti NEM-nya harus bagus! Kalau Opie bisa nyemangatin kan lumayan,” suara Papi membela Eron.
“Asal jangan terbalik malah hancur aja, Pi!” kata Mami wanti-wanti.
Aku dan Rani saling mengeryitkan dahi. Ya Allah, beri hidayah pada keluargaku.
Ups, ternyata yang namanya Opie memang “lumayan”. Dia orang berada, bintang kelas, jago basket, gemar diskusi, dan enerjik! Manis lagi! Terus… duh, suaranya imut dan merdu sekaliii!
“Opie juga punya guru ngaji di rumah. Opie udah khatam Quran, sih!” katanya membuka percakapan dengan kami, pada pertemuan pertama. “Nenek, Kakek, Papa, Mama, Tante dan Om Opie semuanya haji, lho! Malah Kakek udah naik haji delapan kali!” tuturnya semangat.
Aku dan Rani meringis. Tersenyum, terus mendengarkan.
“Opie juga diajakin naik haji atau umroh tahun kemarin. Cuma Opie belum mau. Abis Kak Ocha, Opie kan anaknya masih gini. Mendingan uangnya Opie pakai dulu buat keluar negeri, ke Amrik misalnya. Opie niat sih, cuma masih remaja sih! Eh iya, ada tuh sepupu Opie pakai jilbab, eh pas Opie lihat di kamarnya, rambutnya ketombean dan tipis banget! Menurut Kak Ocha sama Kak Rani gimana tuh?”
Rani menarik napas panjang. Aku baru mau menjawab, ketika dia ngomong again!
“Opie suka mikir, kenapa gitu orang-orang di Timur Tengah demen perang banget. Itu kan bikin citra Islam jatuh. O ya, Opie punya temen fanatik banget deh sama Islam, sampai-sampai salaman sama cowok aja nggak mau! Gila deh, Kak! Sombong banget kan gitu!”
Uuuuuuu! Aku geregetan! Nggak peka amat sih, nih anak!
Hari-hari berlalu. Opie makin sering datang. Makin sering jalan bareng Eron.
Pelan-pelan kupakai pendekatan seperti pendekatan Tini tempo hari. Rani mendukung. Cuma, ternyata ni anak susah banget diajak ngaji. Ada saja alasannya! Mau latihan dance lah, mau ngajak Eron jalan lah, mau nganterin Ibunya belanja, mau ini, mau itu, dan lain sebagainya.
Sabar….
Ya, sabar. Aku dan Rani tetap merasa tak perlu menjauhi Opie, melainkan harus mendekatinya. Kami sama sekali tak memasang target agar dia berjilbab seperti Tini. Yang penting pemahaman keislamannya bertambah baik.
Suatu hari, Opie kuajak ke kampusku di IPB. Ia senang sekali. Apalagi ia memang bercita-cita untuk masuk IPB. Di kampus itulah ia melihat Ayu, Aisyah, Tita, Athifah, Rusmi, dan teman-temanku, para jilbaber yang lain. Melihat keramahan mereka. Menyaksikan bahwa sebagian besar mahasiswi di kampus adalah mereka yang berjilbab rapi.
“Opie kira, yang pakai jilbab cuma banyak di pesantren-pesantren,” gumamnya ketika pulang. “Mereka pintar dan nggak kuper ya,” tambahnya lagi.
Lambat laun Opie mulai menikmati perjalanan-perjalanan selanjutnya bersama kami. Eron latah ikut-ikutan. Aku dan Rani makin bersemangat!
Sampai suatu ketika, di kampus Rani, di Depok ada peringatan dan perayaan hari besar Islam. Opie dan Eron kami ajak untuk menyaksikan. Di sana diputar film tentang Palestina dan bagaimana perjuangan kaum muslimin di sana untuk merdeka. Bagaimana mereka harus menghadapi terror ganas dari para tentara Israel! Bagaimana mereka berjuang untuk mempertahankan tanah air dan keislaman mereka! Kulihat seusai pemutaran film, mata Opie masih basah dan memerah.
“Opie bodoh, selama ini Opie nggak tahu apa-apa soal Islam. Muslim dan muslimah Palestina sedang bertaruh nyawa, Opie di sini egois, bahkan tak pernah mendoakan mereka. Opie sedih.”
“Termasuk prihatin dengan keadaan saudara-saudara kaum muslimin di negeri kita, Pie. Kadang kita sangat mengabaikan mereka. Kita bersukaria, makan di restoran mewah, beli parfum ratusan ribu, padahal banyak yang belum tentu tiap hari bisa makan...,” kata Rani menambahkan.
“Kak Ocha, Kak Rani, minggu depan kita janjian lagi belajar Islam, ya?” ajak Opie kemudian.
“Di mana, Pie?”
“Di mana aja.”
Akhirnya tiap minggu Opie belajar ngaji sama Rani. Ia membawa beberapa teman SMA-nya. Mereka, sekitar bersepuluh, rutin tiap minggu mengaji di rumah.
“Kamu juga ngaji dong, Ron!” kata Opie.
Sebulan kemudian Eron ikutan ngaji sama Mas Herman, aktivis remaja masjid dekat rumah. Cuma entah mengapa ia masih aja malas-malasan. Sementara Opie maju pesat.
“Hati-hati deh, Pie, entar kamu dijilbabin sama kakak gue,” kata Eron suatu ketika. Nadanya wanti-wanti.
Opie tertawa.
“Gue serius, nih!” seru Eron lagi.
“Memangnya kalau gue pakai jilbab kenapa?”
“Ntar nggak mau lagi sama gue!”
Opie ngakak.
Di teras, aku dan Rani mesem-mesem.
Seminggu kemudian, setelah lulus-lulusan SMA, saat aku, Rani, Mama dan Papa berkumpul di teras depan menikmati warna senja yang indah, seseorang datang! Itu Opie! Ia memakai baju panjang, rok panjang, dan kerudung merah jambu! Opie berjilbab! Yes!
Opie diterima PMDK IPB. Opie udah nadzar.”
“Alhamdulillah,” seru kami semua.
Tinggal Eron yang bengong. Bingung.
Hari berlalu. Seminggu sekali masih muncul surat Opie buat Eron. Lama-lama jadi dua minggu sekali, sebulan sekali, dua bulan, tiga bulan dan akhirnya stop sama sekali!
“Gara-gara Kak Ocha dan Kak Rani….”
“Eit, jangan gitu, dong! Kalau Allah ngasih hidayah, biar dihalangin lima milyar manusia, tetap aja nggak bisa! Allah tuh Maha Kuasa!
“Allah sayang sama Opie!”
“Susah tahu, nyari cewek kayak Tini, kayak Opie! Udah dapet malah dijilbabin!” Eron masih bersungut-sungut. “Ntar Eron ajak deh, cewek-cewek temen Eron yang bandel-bandel dan jabrik-jabrik! Coba aja jilbabin!”
“Udah, sekarang perbaiki diri kamu, dong!” kata Rani.
“Eron dari dulu sedang berproses. Lihat dong, sekarang shalat Eron di awal waktu terus. Mulai rajin puasa sunnah biar metal juga!” omelnya panjang lebar. “Tini sama Opie aja yang revolusioner, nggak mau bertahap!”
Dan….
Lulus SMA Eron masuk IKJ. Rambutnya kini gondrong sebahu. Dikuncir ala Steven Seagel. Sudah banyak rekan ikhwan yang kumintai bantuannya untuk ngajarin Eron ngaji. Tapi dasar tuh anak malas-malasan. Kadang sedih juga, mengapa dakwah ke orang lain lebih mudah daripada berdakwah ke keluarga sendiri.
Dan sekarang ada Mia yang nyentrik.
***

“Mia, emangnya memakai kalung sebanyak itu nggak berat?” tanyaku suatu hari.
“Nggak. Gue kan artis!” katanya ceria.
“Wooooi, Rooon, cepet dooong! Ntar kita ditinggal ama si Ediiii!” teriaknya.
Aku dan Rani bergidik. Hiii, serem amat ni orang! Astaghfirullah.
“Mia nggak minat ngaji?” tanya Rani hati-hati.
Mia mengangkat kedua kakinya ke atas bangku. “Yang berbau-bau akhirat gitu jangan lo tanyain ama gue. Itu sih dua ribu tahun lagi lah. Lagian gue nggak punya waktu!” Dikeluarkannya lipstik dan kaca mungil dari tasnya. Ia mulai memperbarui dandanannya. “Gue tuh artis. Harus tampil prima.”
“Artis sekarang udah banyak yang hobinya ngaji,” kata Rani lagi.
Mia tertawa. “ O ya? Cekakak! Ngaji, pakai jilbab, terus buka lagi, gicuuu?” katanya sinis. “Mendingan jilbabin hati dulu deh kayak gue nih,” tambahnya sewot.
“Bagusan dua-duanya dong!” celutuk Rani sebal.
“Yuk, Mia, gue udah siap nih,” sapa Eron tiba-tiba.
“Yuk, gue berangkat. Woooi, Ooomm! Tanteeee! Mia cabuuut!”
“Yaa!” kudengar koor kompak Mami dan Papi dari dalam.
Aku dan Rani masuk ke dalam rumah dengan wajah yang, gimana gitu! Kami temui Papi dan Mami yang meringis sambil geleng-geleng kepala.
“Gile tuh, anak!” kata Papi.
Mami menarik nafas panjang. “Jadi kangen sama Tini dan Opie ya, Pi….”
Tinggal aku dan Rani lirik-lirikan. Laa haula wa laa quwwata illa billah….
***

Hari ini, minggu terakhir bulan September. Sudah sore, ketika Eron pulang. Wajahnya aneh, tak seperti biasa.
“Assalamu’alaikuuuum!” Cuma itu sapanya. Selanjutnya ia siap-siap shalat maghrib dan kali ini, tumben, dia ke masjid! Alone….
“Ada apa, Ron? Kok nggak kayak biasa?” tanyaku lembut.
“Iya, kayaknya wajah kamu aneh,” timpal Mami.
“Eron laper.” Hanya itu jawabannya.
Saat adzan isya, malah Eron yang ngajak Papi shalat ke mesjid. “Mesjid yuk, Pi!”
“Di rumah aja deh. Biasa juga di rumah. Papi capek, nih!”
Kulihat Eron pergi ke mesjid. Sendiri.
Alhamdulillah sih, hanya aku dan Rani tetap merasa ada sesuatu yang terjadi!
Jam sembilan malam, aku dan Rani mengetuk pintu kamar Eron.
“Masuk! Nggak dikunci!” ujarnya dari dalam.
Kulihat adik bungsuku itu sedang menulis sesuatu di meja belajar. Mimiknya serius.
“Boleh nanya nggak?” tanya Rani membuka percakapan.
Eron mengangguk.
“Cerita deh, Ron, siapa tahu kakak bisa bantu,” tawarku.
Eron menunduk, cukup lama. “Subhanallah, Kak,” katanya tiba-tiba.
Aku dan Rani terkejut! Nggak biasa-biasanya Eron ngucapin ‘subhanallah’ gitu! Dengan kesungguhan yang teramat dalam lagi!
“Mia pakai jilbab!” tuturnya.
“Hah?” Aku dan Rani terbelalak! “ Mia rocker, Ron?” tanya kami nyaris serempak, “Yang bener?”
Eron mengangguk. Kali ini tersenyum. “Padahal dia kan baru tiga kali kemari! Belum sempat ngobrol soal agama sama Kak Ocha dan Kak Rani. Pakai jilbabnya baru kemarin. Tadinya dia iseng. Ternyata ia betulan pakai jilbab!”
“Alhamdulillaaah,” suara aku dan Rani. Lagi-lagi bareng. Surprise sekali! Masya Allah! Subhanallah.
“Gara-garanya apa?” tanya Rani.
“Gara-garanya ya, dapat hidayah dari Allah!” kata Eron lugu.
Kami tertawa bareng.
“Cuma, kayaknya kok Mia masih mau tuh jadi pacar Eron!”
“O ya?”
“Mungkin dia belum mengerti. Insya Allah lambat laun dia akan tahu bagaimana aturan hubungan muda mudi dalam Islam,” tukasku. “Jadi kangen nih sama Mia.”
Kulirik meja belajar Eron. Ada dua buku di sana. Tergeletak begitu saja. Yang pertama “Pacaran dalam Tinjauan Islam” dan yang kedua berjudul “101 Alasan Saya Pakai Jilbab”. Aku dan Rani nyengir
“Bingkisan buat Mia,” kata Eron pelan.
Sambil terus tersenyum takjub, kami keluar dari kamar Eron. Subhanallah! Subhanallah! Entah kenapa, entah lewat siapa, yang jelas Allah telah memberikan hidayah-Nya pada Mia! Tanpa terdeteksi oleh siapapun sebenarnya!
“Kak Ocha! Kak Rani!” panggil Eron tiba-tiba.
“Ya?”
“Minggu depan Eron mau ngaji lagi!”
“Alhamdulilllaaaah,” kata kami serempak. Riang. “Gitu dong!”
Aku dan Rani menutup pintu pintu kamar Eron pelan. Air mata haru gembira menitik. Dasar cengeng!
“Maha kuasa Allah yang memberi hidayah kepada orang dikehendaki-Nya,” suara Rani. “Subhanallah.” Katanya tak putus-putus.
Kucubit kedua pipinya keras-keras. Ia mengejarku ke dalam kamar sambil tertawa-tawa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar