Kamis, 03 Juni 2010

Helvy Tiana Rosa - Sebab Aku Angin

Sebab Aku Angin



Malam mengelam. Mendekap Batu Merah dengan segala
kegalauan. Gerimis turun menyapa sunyi. Mengencerkan ceceran
darah, di sepanjang jalan. Mengusir asap kepedihan yang
mengepul, dari bangunan yang telah menjadi arang.
Kupandangi nona di hadapanku sekali lagi. Wajah hitam manisnya
menyembul dari balik jendela kayu yang terbuka. Ia tampak lusuh.
Jilbabnya kumal berdebu, compang-camping dan terkena percikan darah
di sana-sini. Meski lelah, wajah keras itu tak juga berubah. Beku. Kaku.
Sebilah tombak ada dalam genggamannya. Senjata itu dijulurkannya ke
luar jendela, lalu berkali-kali dihunjamkannya ke tanah.
"Cinta, menangislah,"kataku dengan suara risau mendesau.
Perempuan itu menatap puing-puing bangunan masjid, di seberang kami.
Lama sekali."Beta seng bisa manangis,"suaranya bergetar, rahangnya
mengeras.
Tetapi aku sangat ingin, bisikku. Tubuhku berguncang, bergetar.
Berputar. Semakin lama semakin kencang. Meliuk-liuk….
Cinta! Cinta! Sungguh, aku melihat semua!
"Karudung ini bagus sekali, Bu. Pantas untuk beta pakai menghadap Allah
di hari raya,"dari jendela kayu yang terbuka, kulihat nona tersenyum,
menampakkan lesung pipitnya yang dalam.
Mamanya tertawa, menggantungkan sesisir pisang meja di sisi lemari
kayu. "Ya, Nak. Itu rezeki dariNya. Bapakmu juga membelikan Ali dan
Abid songkok baru."
"Selesai salat, Jangan lekas pulang. Apalagi Bapak yang mengisi khutbah
Ied,"suara Bapak bangga.
"Iya! Iya!"
"Wah, bagia ini enak sekali!"kata Ali dan Abid berbarengan. Kedua bocah
itu mengerling nakal, lalu mencomot sepotong dua potong bagia, yang
akan dimasukkan ke dalam toples.
Semua tertawa. Bahagia.
Keesokan harinya, 19 Januari 1999. Pagi-pagi sekali, kulihat Nona dan
keluarganya, juga kaum muslimin yang lain berduyun duyun ke tanah
lapang. Gema takbir terdengar di mana-mana. Dengan khusyu mereka
melakukan salat Ied…lalu….
Entah dari mana, ratusan mahluk menyeramkan menyerang mereka yang
tengah melaksanakan salat! Ada yang membawa tombak, kalewang,
panah, parang, pisau juga pistol! Jeritan memilukan terdengar di manamana!
Oto dan rumah di sekitar juga kena sasaran.
"Serang!"
"Bunuh!"
"Bakar!"
Hiruk pikuk. Semua berlari menyelamatkan diri. Banyak jamaah yang
terinjak-injak. Ratapan, tangisan, jeritan semakin memerihkan pagi! Para
lelaki berpeci, mencoba melawan tanpa senjata. Api berkobar. Orangorang
terkapar. Menggelepar. Seperti ikan-ikan yang terlempar dari air
kehidupan. Darah muncrat, mengalir, lalu membentuk beberapa
kubangan. Pekat.
"Nak, tolooong!"
"Mamaaaa!"
DUG!
Perempuan itu tersungkur di pangkuan anaknya, dengan kepala remuk
terkena lemparan batu.
"Aliii!"
"Abiid!"
"Aaaaaaaaaa!"
Tangan-tangan kotor mengayun-ayunkan bocah itu dan melemparnya ke
dalam bangunan yang terbakar.
Nona terbelalak! Ternganga! Lenso putih di tangannya jatuh ke tanah.
"Bapaaaaak!"
CRESH!
Kepala lelaki separuh baya itu putus dari badannya! Menggelinding di
tanah lapang yang basah meresap darah.
Nona terpaku. Tak bergerak. Hanya tubuhnya yang terdorong ke sana ke
mari, didesak mereka yang panik menyelamatkan diri.
Nona masih kaku. Merasa tubuhnya tertanam dalam tanah, saat palu
raksasa menghantamnya berkali-kali. Jiwanya bagai mengelupas. Tetapi
tak ada setetes pun air mata. Aku hanya mendengar gema isakan dalam
relung-relung batinnya. Kulihat dadanya naik turun. Detak jantungnya
terdengar berkejaran. Ia berteriak sekuat tenaga! Menyebut nama Allah
berkali-kali.
Aku melihat semua! Juga ketika tangan-tangan jahanam itu menyeretnya.
Mendorong. Memeluk,melecehkannya bergantian. Mereka menarik-narik
jilbabnya sambil tertawa tanpa henti. Lalu merobeknya kasar dengan
belati! Nona mencoba meloloskan diri. Ia menggigit, mencakar,
menendang, meludahi monster-monster itu! Hup, ia bahkan berhasil
merampas sebuah tombak! Ya, meski tangannya berdarah terkena ujung
tombak yang tajam. Lalu dengan sisa-sisa tenaga ia berlari. Jatuh
bangun. Tersengal-sengal. Kadang tersandung tubuh-tubuh manusia yang
terbongkar, di tengah jalan….
Siapa mahluk-mahluk buas dengan mata dan ikat kepala merah itu? Lalu
yang memakai ikat kepala ungu? Mereka seakan baru saja menenggak
berbotol-botol sopi dan sagure. Mereka membawa panah api! Di mana
polisi? Di mana tentara? Aku mendesau risau.
Hening. Bulan sepotong di langit. Bintang tiada.
"Cinta…, Nona...," sapaku pelan.
Wajah itu kaku. Dingin.
"Nona harus pi," kutiup wajah manisnya. "Ose harus mengungsi. Orangorang
pergi ke pelabuhan. Mereka memakai arumbai atau kole-kole untuk
keluar dari sini."
"Seng!"tegas Cinta tiba-tiba. "Beta tak akan pernah pergi!" Wajahnya
terangkat beberapa senti.
Aku tersentak. Oh, Cintaku. Ia sangat berani. Tetapi…apakah ia tak
menyadari?
Lawannya bukan manusia, tetapi monster! Mereka tak punya nurani.
Monster-monster ini serupa dengan mereka yang membantai kaum
muslimin Bosnia, Palestina, Kashmir, Kosovo, Myanmar, Azerbaijan,
Chechnya, Aljazair dan yang lainnya!
Lalu siapa yang akan membelamu, Cinta? Apakah orang-orang yang
selalu berteriak-teriak mengatasnamakan HAM di muka bumi ini akan
tergetar pada deritamu? Akankah mereka mendengar jeritan menyayat
dari tanah yang tercabik-cabik ini? Ah, mereka akan terus tidur, Cinta.
Mereka punya banyak urusan. Juga uang dari negeri antah berantah.
Terkadang mereka berteman erat dengan monster-monster itu.
"Kini milikku hanya Allah dan tanah ini. Beta harus bajuang demi
kebenaran!"
Aku meliuk perih. Terhempas-hempas.
Cinta…, Cinta.
Aku ingat. Beberapa waktu lalu, ia pergi ke Masjid Raya Al Fatah, masjid
besar di kota ini. Menyaksikan sendiri tumpukan lara. Puluhan ribu
pengungsi yang rumahnya terbakar berjejalan di sana. Kebanyakan
mereka perempuan, anak-anak dan lansia. Mereka kelaparan, kehausan
dan terkena berbagai penyakit. Erangan dan tangisan di sana bagai air
mendidih dalam jerangan.
Cinta tak mampu lagi tersedu. Ia membentangkan kedua tangannya
memeluk para balita. Menghibur mereka. Ia bercerita tentang Rasulullah
saw dan para sahabatnya pada anak-anak itu, hingga walau sesaat
mereka lupa akan lapar. Ia membantu memasak bubur, menumbuk sagu.
Menegarkan para wanita, mengobati yang terluka. Juga mengasah bambu
runcing.
"Biar katong membela diri!" serunya garang, ketika seorang tentara
melarang mereka bertindak. Padahal saat itu mereka diserang membabi
buta. "Beta tak mengerti. Mengapa kalian membiarkan monster-monster
itu? Mengapa katong tak boleh mempertahankan nyawa sendiri? Di mana
keadilan?"teriak Cinta.
Orang-orang di sekitar masjid memandangnya dengan mata basah dan
sukma tercabik.
"Siapa nona pemberani itu?" Mereka berbisik-bisik.
"Puteri Haji Latusina. Satu-satunya yang tersisa dari keluarga itu!" sahut
yang lain.
Bulan sepotong di langit. Bintang tiada.
Kupandang lagi nona. Lalu sayup, kudengar lagi irama langkahnya, saat
memasuki gerbang sebuah rumah sakit, beberapa hari yang lalu.
Saat itu ia mengantar seorang perempuan jamaah masjid yang akan
melahirkan. Baru saja perempuan itu terbaring di atas ranjang putih,
entah dari mana datangnya, para monster itu telah menyerbu rumah
sakit! Panik! Semua porak poranda. Bangunan putih tersebut dalam
sesaat penuh cipratan darah. Tangisan, teriakan histeris memecah udara!
Ibu-ibu hamil itu memekik, kala dianiaya secara paling biadab, sebelum
dibunuh. Begitu juga penghuni rumah sakit yang diketahui muslim.
"Buka jilbabmu sebelum mereka melihatnya!" kata seorang perawat.
"Jangan bilang ose muslimah!"
Cinta menatapnya dengan pandangan menyala. "Tidak. Beta muslimah,
sejak beta dilahirkan hingga kembali padaNya!" seru Cinta dengan suara
dan tubuh bergetar.
Pada detik terakhir sebelum bangunan itu dihancurkan, tertatih-tatih,
Cinta membawa beberapa muslimah, menjauhi rumah sakit. Bersembunyi
di rumah kosong, tak jauh dari sana. Peluh dan darah mengucur deras
dari dahinya.
Nona, nona.
Setiap kali kupandang mata jelinya yang kini bengkak dan sayu,
kutemukan lima ratus mayat lebih terbujur kaku di sana. Kujumpai
kepedihan Pelauw, Sirisori, Tulehu, Kate-kate dan Kampung Kolang.
Kusaksikan nyeri menebari Kuda Mati, Wailela, Kampung Labuhan Raja,
Air Laew, Karang Tagepe.… Lebih dari satu setengah bulan, sejak hari
raya berdarah itu. Tak ada apa pun, kecuali rejam kekejian yang
menggila. Bahkan 2 Maret lalu, para jamaah yang sedang salat subuh di
Masjid Al Huda, kembali dibantai, tanpa sempat membela diri.
Kini bulan hampir habis di langit. Bintang tiada. Dari jauh terdengar bunyi
tiang listrik dipukul berkali-kali.
Tiba-tiba Cinta bangkit dari duduknya.
"Mereka menyerang lagi!"teriak Cinta. "Monster-monster itu telah
kembali!" Kegeraman seakan membungkus keberanian gadis itu berlapislapis.
"Allahu ma’i! Allahu ma’ii!"katanya berkali-kali.
Cinta mengangkat tombaknya. Menutup jendela yang engselnya hampir
terlepas itu. Ia bergegas ke kamar mandi. Perlahan sekali kudengar
guyuran air. Aku tahu, gadis itu pasti sedang membersihkan dirinya. Di
daerah ini, sejak masa Pattimura, bila akan berjihad, mereka selalu mandi
dan mengenakan pakaian putih.
Suara tiang listrik yang dipukul, terdengar lagi. Semakin keras. Cinta
bergegas ke luar rumah. Aku yakin, ia akan pergi ke masjid itu.
Bergabung dengan yang lain. Sekali lagi ditatapnya rumah kenangan yang
sebagian telah hancur diterjang bom rakitan. "Selamat tinggal," lirihnya.
Sementara itu suara gemuruh para monster terdengar semakin dekat.
Mereka berteriak-teriak kasar. Berjalan sambil mengacung-acungkan
senjata! Mencorat-coret tembok rumah yang masih berdiri tegak dengan
segala hujatan, atau menghancurkannya!
Cinta berlari. Membawa tombak di tangannya. Juga salawaku yang telah
ditempanya beberapa hari lalu.
Tiba-tiba, belum jauh ia berlari, di hadapannya tampak puluhan monster
menyeringai. Mereka membawa berbagai senjata di tangan. Mengerikan.
Kian lama mereka semakin banyak. Mereka datang dari berbagai arah.
Tampaknya sebagian besar bukan berasal dari daerah itu! Mata mereka
merah! Jalan mereka terhuyung-huyung! Mereka mengenakan ikat kepala
yang sama seperti dahulu. Merah dan ungu!
"Hua…ha…ha…,"mereka tertawa-tawa. Lalu dari mulut mereka ke luar
berbagai makian. Terkadang monster-monster itu tanpa malu memanggilmanggil
Tete Manis.
Cinta terkepung.
"Allaaaaahu Akbar!" teriak Cinta. "Allaaaaahu Akbarrr!" ulangnya berkalikali.
Aku dapat merasakan dadanya menggelegak. Nyaris pecah.
Para pengecut itu menyerang Cinta! Mengamuk! Mereka bakalai! Nona
manise sempat terjatuh dan diinjak-injak!
Biadab! Marahku menjalar.
Tiba-tiba aku mendengar sebuah panggilan. Suara itu! Tubuhku bergetar
hebat. Menggigil ngilu. Itu adalah Panggilan Agung yang menggetarkan
segenap alam.
Cinta! Kulihat ia berdiri, mengayun-ayunkan tombaknya ke sana kemari.
Nona terdesak.
Sekuat tenaga aku meliuk-liuk di udara. Meniup sekuat-kuatnya. Aku
berputar-putar. Terus berputar-putar. Memanas. Mengganas! Sekonyongkonyong
monster-monster itu berpentalan.
Aku tak sudi membiarkan mereka begitu saja. Aku bertiup lagi. Memekikmekik.
Kali ini kuangkat tubuh Cinta. Nona melayang-layang di udara.
"Lihat! Dia terbang! Dia terbang!"
Orang-orang berikat kepala ungu memanah Cinta dengan panah api.
Kutiup anak panah itu, hingga kembali kepada si pemanah. Mereka masih
memanah tanpa henti. Aku meliuk-liuk. Menggemuruh. Panah-panah itu
mengejar mereka. Mereka berteriak-teriak histeris. Ketakutan. Semua
lintang pukang! Aku menurunkan Cinta dengan lembut. Nona masih
memejamkan mata.
Sepi. Tak ada suara apa pun. Hanya desiranku.
"Beta cinta Allah dan RasulNya. Juga tanah ini," bisik Nona.
Aku mengangguk. Aku tahu. Karena itu aku selalu memanggilmu Cinta,
kataku sendiri.
"Allahu Akbar. Engkau telah mengirimkan tentaramu," katanya lagi.
"Benar Ustad Abdul Aziz, kala bercerita Kau mengirimkan ribuan malaikat,
saat masjid raya diserang."
Aku kembali melihat lesung pipit itu di tempatnya. Ah, setelah sekian
lama.
"Dan kini Kau kirim tentaramu yang lain," sambung gadis itu. "Angin…."
Aku bertiup pelan. Lembut. Semilir.
Nona menengadah ke langit. Jilbabnya berkibar. Matanya basah. Darah
masih mengucur deras dari kedua lengan dan kakinya.
Dari balik kota yang sekarat, mentari merambat naik pelan-pelan.
Menyapa kusu-kusu yang membisu di tepi jalan.
Ya, monster-monster itu mungkin akan kembali. Tetapi tak ada yang sudi
pergi dari tanah ini. Tak akan, sampai kapan pun. Sebab Cinta, sebab
angin dan semua, akan bangkit menghadapi. Demi Allah!
***


Daftar Istilah :
beta: aku seng: tidak nona: gadis kalewang: parang panjang pisang
meja: pisang Ambon ose: kamu katong: kami arumbai: perahu/kapal
besar kole-kole: perahu kecil bajuang: berjuang bagia: kue sagu kering
oto: mobil tete manis: tuhan (non muslim) pi: pergi lenso: saputangan
manangis: menangis sopi, sagure: minuman keras salawaku: tameng
bakalai: berkelahi kusu-kusu: alang-alang
Helvy Tiana Rosa
6 Februari 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar